Sumber Kesaksian: Handoko dan Inge Trenggono
Handoko Trenggono, seorang ayah yang amat mengasihi anak-anaknya tidak menyangka akan mendengar kabar menggemparkan yang terjadi pada diri putri bungsunya, Happy.
Pada saat itu memang saya ada di rumah, lagi nonton tv. Terus ada yang menelpon yang memberitahu bahwa Happy anak saya mengalami kecelakaan terus sekarang ada di rumah sakit Green Garden.
Saat tiba di lokasi kejadian, Handoko menemukan putrinya Happy terbujur di mobil Teddy, teman pria Happy yang mengajaknya menonton malam itu. Malam itu juga Happy dilarikan ke rumah sakit.
Saya langsung bawa ke rumah sakit Graha Medika. Dari situ saya turunkan, tapi ternyata Happy telah tiada.
Happy Trinita, putri bungsu bapak Handoko ini baru berusia 18 tahun ketika maut menjemputnya. Sosoknya yang lincah dan periang membuatnya disukai oleh keluarga dan teman-temannya. Namun sayang di usianya yang belia, Happy tewas secara mengenaskan oleh teman dekatnya sendiri yang telah dikenalnya sejak kecil.
Dengan alasan hendak mengajak nonton, diam-diam Teddy telah merencanakan untuk memperkosa Teddy begitu orang suruhannya berhasil membius Happy dengan berpura-pura menjadi perampok. Namun diluar dugaan zat cloroform yang dipakai untuk membius membuat korban tewas seketika itu juga.
Inge Trenggono, ibu Happy mengenang kejadian itu.
Saya sedang berada di Medan saat itu, saya tidak berada di Jakarta. Saya sudah ada di Medan selama dua minggu. Pada tangggal 25 April saya mendapat telepon jam 11 malam dari adik saya. Dia menanyakan kapan saya pulang. Saya tanya kenapa?, tapi dia mengatakan tidak ada apa-apa, hanya Happy sakit dan diopname.
Saya gelisah, saya merasa ada sesuatu terjadi dengan anak saya. Saya hanya bisa menangis, berlutut dan berdoa. Saya katakan : "Tuhan, saat ini saya ada dalam keadaan gelisah. Saya mohon petunjuk, apa yang terjadi di rumah?, apa yang terjadi dengan Happy?". Saya begitu kaget dan tertegun bahwa Tuhan menunjukkan satu peti jenazah putih dan ada foto anak saya di depannya.
Satu yang saya minta Tuhan, apabila penglihatan yang saya lihat tadi benar, beri kekuatan kepada saya. Tuhan berikan kekuatan kepada keluarga saya.
Setibanya di Jakarta, Inge seperti sedang bermimpi di siang bolong. Saya melihat anak saya terbujur benar-benar di peti jenazah putih dengan foto di depannya. Semua mengira pasti saya datang menangis dan terguling-guling, tapi air mata saya telah habis pada saat di Medan dan di pesawat, mengalir terus air mata. Begitu saya melangkah ke Jakarta Tuhan menggenapi janjinya dan menguatkan saya.
Kepergian Happy menjadi pukulan berat bagi keluarga Handoko. Teddy dan dua temannya berhasil diamankan dan diancam hukuman penjara. Keluarga Teddy mencoba dengan jalan damai. Beberapa kali keluarga Teddy mencoba mendatangi orang tua Happy untuk meminta maaf, namun selalu gagal.
Handoko tidak dapat menerima permohonan maaf ini.
Mereka bilang inilah mungkin jalan terbaik. Tapi saya sendiri katakan : "Bagaimana mungkin hal ini bisa dibilang yang terbaik. Anak saya meninggal dibunuh kok bisa dibilang yang terbaik?". Jadi saya tidak bisa habis pikir.
Demikian juga dengan ibu Inge.
Teman-teman saya katakan : "Kamu harus berdoa dong untuk Teddy supaya kamu bisa mengampuninya". Saya bilang memang enak mengatakannya. Tapi untuk saya sungguh-sungguh bisa berlutut, memohon dan berdoa sulit sekali, apalagi untuk mengampuni Teddy. Hampir setiap malam saya sulit tidur, seperti melihat televisi kehidupan anak saya setiap hari.
Sepeninggal putrinya, hari-hari Handoko dan Inge tidak sama lagi. Mereka mengalami depresi yang luar biasa.
Inge kini hanya merasakan kepahitan.
Di rumah setiap ada masalah sedikit, suami saya langsung marah besar. Rasanya seperti hidup di dalam neraka.
Enam bulan berada dalam tekanan, atas saran putranya, Inge akhirnya membuat keputusan yaitu melepaskan pengampunan untuk pembunuh putrinya.
Saya katakan pada suami : "Pak mungkin ini saatnya kita harus mengampuni. Mungkin saat ini kita jadi keluarga yang kacau tanpa damai sejahtera karena kita belum bisa mengampuni dia. Kenapa setiap malam kita doa tapi Tuhan tidak jawab, hati kita juga selalu tidak damai sejak anak kita pergi."
Keputusan Handoko dan Inge ternyata masih harus diuji.
Tuhan itu mau menguji saya apakah saya benar-benar waktu saya ngomong mengampuni itu dari mulut saja atau dari hati. Sekarang orang tua tersangka membawa anaknya ke depan mata saya. Dia datang dan saya suruh masuk. Begitu dia masuk kaki saya sampai gemetar, saya tidak bisa jalan. Tapi begitu pembunuh anak saya datang, ia saya peluk. Kuasa Tuhan turun sehingga saya betul-betul bisa mengampuni. Dia saya peluk, saya menangis. Inilah luar biasanya Tuhan. Nah setelah itulah saya merasa plong. Saya merasa tidak ada beban lagi.
Demikian juga dengan Inge.
Tuhan menolong saya menempatkan Teddy sebagai anak saya pada saat itu. Kita mengampuni Teddy bukan saja kita memulihkan orang lain, tapi kita juga memulihkan diri kita sendiri. Karena saya mengampuni orang yang membunuh anak saya, batin saya juga Tuhan pulihkan
Teddy dan kedua temannya akhirnya dibebaskan dari tuntutan. Sejak itu hari-hari berkabung keluarga Handoko beralih menjadi hari-hari yang penuh pengharapan. Inge Trenggono hanya bisa menyadari bahwa damai sejahtera akibat kuasa pengampunan ini hanya bisa didapat melalui tekadnya menjadi pelaku firman.
Kami hanya belajar menjadi pelaku firman saja. Saya bawa hal ini dalam doa. Di doa Bapa kami di katakan : "Ampunilah kesalahan kami seperti kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami". Itu yang menggelitik saya untuk mengambil sikap mengampuni. Setiap malam saya berdoa kalau Tuhan mengijinkan hal ini terjadi dalam keluarga kami, saya minta Tuhan memberikan damai sejahtera, kekuatan dan sukacita. Dan Tuhan menggenapi.
Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu." [Tetapi jika kamu tidak mengampuni, maka Bapamu yang di sorga juga tidak akan mengampuni kesalahan-kesalahanmu.] (Markus 11:25-26)